Joglo, merupakan mahakarya arsitektur tradisional Jawa
Dahulu bangunan Joglo ini kebanyakan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu. Hal ini disebabkan rumah bentuk joglo membutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan mahal daripada rumah bentuk yang lain. Masyarakat jawa pada masa lampau menganggap bahwa rumah joglo tidak boleh dimiliki oleh orang kebanyakan, tetapi rumah joglo hanya diperkenankan untuk rumah kaum bangsawan, istana raja, dan pangeran, serta orang yang terpandang atau dihormati oleh sesamanya saja.
Banyak kepercayaan yang menyebabkan masyarakat tidak mudah untuk membuat rumah bentuk joglo. Rumah bentuk joglo selain membutuhkan bahan yang lebih banyak, juga membutuhkan pembiayaan yang besar, terlebih jika rumah tersebut mengalami kerusakan dan perlu diperbaiki.
Kehidupan ekonomi seseorang yang mengalami pasang surut pun turut berpengaruh, terutama setelah terjadi penggeseran keturunan dari orang tua kepada anaknya. Jika keturunan seseorang yang memiliki rumah bentuk joglo mengalami penurunan tingkat ekonomi dan harus memperbaiki serta harus mempertahankan bentuknya, berarti harus menyediakan biaya secukupnya. Ini akan menjadi masalah bagi orang tersebut. Hal ini disebabkan adanya suatu kepercayaan, bahwa pengubahan bentuk joglo pada bentuk yang lain merupakan pantangan sebab akan menyebabkan pengaruh yang tidak baik atas kehidupan selanjutnya.
Pada dasarnya, rumah bentuk joglo berdenah bujur sangkar. Pada mulanya bentuk ini mempunyai empat pokok tiang di tengah yang di sebut saka guru, dan digunakan blandar bersusun yang di sebut tumpangsari. Blandar tumpangsari ini bersusun ke atas, makin ke atas makin melebar. Jadi awalnya hanya berupa bagian tengah dari rumah bentuk joglo zaman sekarang. Perkembangan selanjutnya, diberikan tambahan-tambahan pada bagian-bagian samping, sehingga tiang di tambah menurut kebutuhan.
Atap berbentuk joglo banyak menggunakan material kayu, mulai dari kayu polos sampai kayu yang penuh ornamen. Hal ini mengakibatkan beban yang harus disalurkan untuk sampai ke tanah oleh masing-masing soko cukup berat. Sebenarnya beban yang dipikul oleh soko dapat dihitung, yaitu dengan cara mengetahui luas area penutup atap yang disokong oleh masing-masing soko. Luas area tersebut kemudian dikalikan dengan beban atap per meter persegi, sehingga didapat beban atap yang harus dipikul oleh masing-masing soko atau tiang. Akibatnya, jumlah beban yang disalurkan oleh soko tersebut harus lebih kecil dibandingkan dengan tegangan tanah per sentimeter persegi. Bila beban yang disalurkan oleh soko lebih besar dari tegangan tanah, maka pondasi akan melesak.
sumber:
http://njowo.multiply.com/reviews/item/146
http://properti.kompas.com/read/xml/2008/08/15/11150460/mengadopsi.model.atap.rumah.joglo